91. Rektorat UI Karya Gunawan Tjahjono bab 20a : Safitri Ahmad
Menu Click to open Menus
TRENDING
Home » BUKU PROF. GUNAWAN TJAHJONO » 91. Rektorat UI Karya Gunawan Tjahjono bab 20a

91. Rektorat UI Karya Gunawan Tjahjono bab 20a

(209 Views) Agustus 14, 2022 1:56 am | Published by | No comment



Saat saya wisuda, saya sempat-sempatkan untuk berfoto dengan latar belakang
gedung Rektorat UI. Tentu saja lengkap dengan baju toga. Ternyata pikiran
itu tidak hanya saya yang punya, beberapa wisudawan-wisudawati juga punya
pikiran yang sama, dan terpaksalah, agak antri untuk mendapatkan posisi
strategis dengan latar belakang yang pas. Kelakuan itu terjadi pada setiap
acara wisuda. Rasanya tak lengkap, jika tak mejeng dengan latar belakang
gedung ini, dan saya yakin tidak semua wisudawan dan wisudawati tahu siapa
perancangnya, Pak Profesor Gunawan Tjahjono, dosen Arsitektur. Foto dengan
latar gedung rektorat itu, kemudian up load di facebook, agar semua teman
tahu, baru saja lulus, lulusan Universitas Indonesia.

Menulis kritik arsitektur gedung ini ternyata tak semudah mejeng di depannya.
Entah dari mana saya harus mulai. Mungkin saya harus berandai-andai menjadi
Gunawan. Tentu saya akan lebih mudah menulisnya. Tapi rasanya tidak masuk
akal. Yang masuk akal jika saya berandai-andai baru pertama kali mengunjungi
bangunan ini (padahal sebelumnya sudah berkali-kali). Lalu memikirkan kenapa
Gunawan merancang seperti itu. Merancang Pusat Administrasi Universitas
Indonesia atau lebih suka disebut Rektorat UI.

Andai andai dimulai.
Dari jauh badan dan kepala bangunan sudah nampak, tapi untuk mencapainya
harus berusaha. Pertama melalui jalur melingkar (ada lingkaran besar di depan
bangunan) untuk mencapai main entrance. Begitu turun dari kendaraan tidak
terlihat bagian dalam komplek. Tertutup satu bidang dinding. Kenapa mesti
ditutup-tutupi? Biasanya dari main entrance, sudah terpapar sebagian komp
Sengaja. Jawabnya. Ingin memberi kejutan. kejutan apa yang didapat dari balik
dinding itu.



Taman.
Taman berbentuk persegi empat, seperti di film Mandarin. Saya diam sejenak
seperti biasa. Berpikir dan melihat berkeliling. Sedang menimbang-nimbang.
Apakah akan berjalan menerobos taman langsung menuju bangunan? Atau
menyusuri jalur pejalan kaki berbentuk segi empat, yang mengelilingi taman,
dengan konsekuensi memperpanjang perjalanan dan waktu tempuh. Saya
memilih mengitari taman. Tidak terburu-buru. Tidak ada yang diburu juga.
Tujuan saya adalah menikmati rancangan dan menuliskannya. Saya putuskan
untuk menyusuri jalur itu dari arah sebelah kiri, bukan sebelah kanan. Sama
saja, bertemu di titik yang sama menuju bangunan.

Berjalan pelan-pelan, merasa terlindungi sekaligus merasa dijaga oleh dinding
dan atap. Atap pelana rendah dengan genteng warna merah bata kontras
dengan warna beton pada dinding. Kehadiran mereka memang dipersiapkan
untuk itu. Saya seperti melalui sebuah prosesi dari bentukan fisik : berupa
lantai, dinding, dan atap. Suasana terasa hening, karena area ini jauh dari
hingar bingar kegiatan perkuliahan yang dipenuhi mahasiswa dan dosen yang
lalu lalang. Suasana dan rancangan menyatu.

Taman dilapisi paving beton dan rumput dengan pola kotak-kotak. Sayang ada
pot bunga dengan bunga warna warni yang tidak pada tempatnya. Tidak yakin
Gunawan merencanakan peletakan pot bunga itu. Nilai ruang teracak dengan
kehadirannya. Merusak suasana. Andai tidak ada pot bunga dengan bunga
warna-warni itu, pesannya pasti tercapai, suasana hening yang ingin ia ciptakan
akan terasa.

Setelah mengelilingi taman, kaki mulai melangkah naik menuju koridor yang
mengarah ke bangunan. Mata tertuju ke tangga. Menuju lantai dua. Siap
menunggu saya. Aduh… mesti menaiki tangga. Tinggi pula. Tapi, saya jalani
semua dengan tabah. Pelan-pelan saya melalui koridor tak berdinding. Pilar
pilar ramping yang berbaris rapi di sisi kiri dan kanan koridor, menopang atap
pelana yang tinggi. Seakan-akan berbaris mengawal dan menghormati saya.
Terus berjalan menapaki tangga.

Suasana intim dan terlindungi di bawah atap rendah dan dinding massif yang
mengelilingi taman terasa kontras dengan suasana di bawah koridor berdinding dengan atap yang tinggi. Suasana formal dan tertata mulai terasa.
Begitu sampai di dalam bangunan, saya dihadapkan pada ruangan lapang
yang disebut Balai Kirti. Jika mata mengarah ke atas terlihat rongga besar
yang semakin ke atas semakin gelap. Rongga itu terbentuk dari empat masa
bangunan yang saling terhubung. Saya terasa kecil.

Dalam tulisan Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia,
Pandangan Perancang Utamanya, yang ditulis, Gunawan Tjahjono.
Tertulis : Dalam rencana awal, rongga yang terletak di tengah
seharusnya terpapar cahaya, yang berasal dari celah antara lantai
ruang sidang dan dinding bagian atas. Akan tetapi, lift yang
mengakomodasi sirkulasi vertikal sampai ruang sidang dapat
menembus atap (rumah lift paling atas) maka diputuskan (oleh
Osriful Usman, pelanjut perancangan), untuk menurunkan lantai
ruang sidang.

Tertutuplah celah antara lantai ruang sidang dan
dinding bagian atas yang memasukkan cahaya dari samping. Saat
itu, Gunawan sedang di Amerika melanjutkan sekolah dan ia tidak
bisa dihubungi. Di dalam tulisan itu, Gunawan berandai-andai, jika ia
sempat diberitahu maka ia akan membiarkan lift berhenti satu lantai
di bawah ruang sidang, dan dilanjutkan dengan tangga.




No comment for 91. Rektorat UI Karya Gunawan Tjahjono bab 20a

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


center>