120 TPAK Tim Penasehat Arsitektur Kota Jakarta bab 25c
(548 Views) Agustus 14, 2022 9:08 am | Published by Safitri ahmad | No comment
“Pak Gun juga pernah ketemu Paul Rudolf (arsitek gedung wisma Dharmala
yang saya suka)?”
“Paul Rudolf bukan zaman saya.”
“Ada proyek yang saya belum mau tanda tangan, yang saya perkirakan akan
menganggu privasi pasien yang ada di rumah sakit.”
“Kenapa Pak?”
“Ini ada Rumah Sakit yang sangat rendah, privasi ..di sebelahnya ada
apartemen yang sangat tinggi setiap kali ia (penghuni apartemen) bisa lihat
(melihat ke arah rumah sakit), mengancam orang nanti.” Kata Gunawan sambil
mengunakan tangannya untuk mendeskripsikan rumah sakit yang rendah dan
apartemen yang tinggi.
“Misalnya sebuah bangunan direncanakan oleh arsitek A lalu diperbaiki oleh
arsitek B, bagaimana, boleh tidak, apakah harus arsitek A yang memperbaiki?”
“Sudah selesai belum urusannya dengan arsitek A?”
“Itu hak orang mau pakai arsitek lain, apalagi ganti owner.”
“Lalu, apa alasan bangunan itu dapat diubah atau tidak diubah, apa alasan
TPAK untuk membolehkan bangunan itu bisa diubah atau tidak diubah?”
“Tergantung, kalau letak dan bangunan tidak signifikan tidak masalah. Kalau
bangunan itu sebagai tonggak pada zamannya, kalau diubah ya saya tanya.”
“Misalnya apa Pak, contoh bangunannya yang tidak bisa diubah?”
“Rektorat misalnya. Ia kan cukup signifikan. Kalau orang mengubah kan harus
tanya.”
Kenapa jawabannya rektorat ? Pasti Gunawan sadar yang saya harapkan adalah
bangunan yang ada di Jakarta, bukan bangunan karyanya, di Depok pula.
“Kalau di Jakarta?”
“Ya kan ada yang begitu juga, saya tidak boleh sebut dong.” Katanya sambil
senyum-senyum, sadar kalau jawabnya tidak memuaskan, ketahuan kalau ia
sengaja menghindar.
“Tidak bagus.”
“Karena Kamu mau masukkan buku, nanti orang baca.”
“Akan bias jika Pak Gun menyatakan bahwa bangunan itu design nya sangat
signifikan, lalu tidak mengizinkan bangunan itu diubah. Apa dasarnya?”
Tetap usaha mendapatkan jawaban yang saya ingin.
“Ada kekhawatiran kita. Misalnya begini, ini (bangunan) yang tidak dibongkar.
Di depan patung Pak Tani ada bangunan. Kita tahu bahwa bangunan itu adalah
bangunan yang pakai beton ekspos pertama. Signifikan kan?”
“Iya signifikan kata saya menyetujui,” sambil mikir-mikir bangunan yang
mana? Ada bangunan PPM, ada Hotel Aryaduta, ada toko-toko. Hm..kalau
diperhatikan bangunannya, PPM yang menggunakan beton ekspos.
“Kalau orang ingin mengubah, saya tanya. Itu bukan relatif (penggunaan beton
ekspos pertama di Indonesia).”
“Karena Pak Gun tahu itu pakai beton ekspos pertama.”
“Kita harus punya pengalaman yang cukup baik. Itu kenapa jadi pakar.”
“Kriteria apa lagi sebuah bangunan signifikan pada zamannya?”
“Misalnya, rektorat apa?”
Aduh… rektorat lagi.
Gunawan menjawab pertanyaannya sendiri.
“Karena bangunan itu di berada zaman post modern,
dunia sedang membahas itu, dan ia (bangunan) yang
pertama di Indonesia. Kalau bangunan itu, ia pertama
kali jadi landmark di daerah itu, kita bisa menganggap
ia punya significant meaning.”
“Disainnya tentu. Fungsi sosial lebih jarang sih,
tergantung kalau itu adalah bangunan umum ya ia
punya fungsi sosial. Pasar. Sekolah, tapi arsitekturnya
signifikan.”
“Pak Gun tahu semua bangunan yang masuk TPAK?”
“Tidak semua.”
“Ya bagaimana saya bisa tahu? Saya kadang-kadang tidak hadir.”
“Tapi pada akhirnya Pak Gun tanda tangan semua proyek?”
“Kalau saya tidak hadir, saya tidak tanda tangan. Wakil Ketua bisa tanda
tangan. Wakil Ketua tidak hadir, orang paling tua. Itu aturannya.”
“Jadi tidak harus Pak Gun, karena ketua.”
“Tidak dong, kalau begitu macet dong? Saya tidak bisa jamin saya sehat terus.
Saya tidak bisa jamin kalau saya tidak ditugaskan kemana. Dan itu ditunggu
orang. Begitu banyak gambar.”
“Kadang-kadang mau tidak mau harus diluluskan.”
“Perubahan apa yang Pak Gun lihat dari tahun 1992 sampai sekarang,
perubahan atau perkembangan rancangan arsitektur di Jakarta, atau proyek
yang masuk ke TPAK?”
“Ada sih.”
“Makin mewah. Dan banyak meniru luar. Zaman saya masuk, banyak yang
punya gaya… Habis itu minimalis… terasa sama saja. Sekarang mulai agak
menutupi bangunan, second skin. Sama saja dengan perkembangan di luar.”
“Menurut Pak Gun, di Jakarta sama atau lebih lambat dari tren yang ada di luar
negeri.”
“Bisa dikatakan kita lebih lambat. Banyak meniru. Ada pengaruh dari luar.
Majalah sekarang gampang. Intenet sekarang gampang. Begitu.”
“Tapi ada yang arsitek asing datangkan yang cukup baru.”
“Apanya yang baru?,” tanya saya.
“Idenya.”
“Setiap tahun ada yang bagus. Cuma pelaksanaan tidak pada tahun itu. Yang
tidak bagus sih lebih banyak. Tapi kalau ia tidak melanggar macam-macam
kita tidak bisa menahan. Kalau mereka sudah menyelesaikan keamanan,
kesehatan, pikirkan kaki lima. Itu kan ada syarat minimum. Ia sudah penuhi.
Yang paling penting kendaraan pemadam kebakaran bisa masuk, manuver.
Jadi Ada beberapa persyaratan mesti kita lihat. Lalu permukaan bangunannya,
tidak memantulkan cahaya ke jalan umum, hingga menyilaukan. Saya tidak bisa
bilang saya tidak suka. Suka atau tidak suka, tidak bisa.”
“Tanya apalagi ya Pak?,” tanya saya bingung.
“Lah… kan Kamu yang tanya, saya yang jawab.”
“Saya mati langkah, pertanyaannya tidak berkembang. Karena tidak pernah
berada di sana (di sidang TPAK tiap Kamis). Jadi saya tidak bisa membayangkan.
Kalau saya ada di sana, saya bisa langsung tanya.”
“Yah… Kamu tidak boleh masuk.”
“Cuma jadi pengamat?,” kata saya menawar.
“Tidak bisa, itu kan proyek, sebelum dipublikasikan sebetulnya ada rahasia
orang yang…”
“Rahasia apa Pak. Rahasia proyek?”
“Proyek sebelum diumumkan pemilik proyek punya hak untuk proyek itu
tidak diketahui orang. Jadi kita tidak boleh membocorkan sebelum proyek itu
diumumkan. Ada privasinya juga.”
No comment for 120 TPAK Tim Penasehat Arsitektur Kota Jakarta bab 25c