33. Chia Yong Guan bab 7b : Safitri Ahmad
Menu Click to open Menus
TRENDING
Home » BUKU PROF. GUNAWAN TJAHJONO » 33. Chia Yong Guan bab 7b

33. Chia Yong Guan bab 7b

(166 Views) Agustus 7, 2022 11:46 pm | Published by | No comment



”Meninggal juga bukan kena serangan jantung.”
”Meninggalnya kenapa Pak?”
”Karena tua dan pikun.”
”Ia hidup sampai usia 84 tahun, jarak serangan jantung yang pertama dan
kedua tidak lama.”
”Apa Ayah Pak Gun masih punya saudara di China.”
”Ada.”
”Pernah berkomunikasi dengan keluarga di China?”
”Pernah ke sana?”
”Pernah suatu saat saya tulis surat, saya bilang saya mau ke sana, tapi tidak
dijawab. Mungkin mereka juga dalam kesulitan.”
Wawancara ini dilakukan tahun 2007. Tahun 2010 Gunawan kembali mencoba
berkomunikasi dengan keluarga di China dan mendapat balasan. Tak lama kemudian
ia dan keluarga berkunjung ke China, bertemu dengan kakak perempuannya.
Mereka juga mengunjungi rumah Ayah Gunawan, masih ada tapi sudah rusak. Sejak
itu, Gunawan terus menjaga hubungan komunikasi dengan keluarga di China, karena
hanya ia yang bisa bahasa Mandarin, dan mereka tidak bisa berbahasa Inggris.
”Berarti dari kecil tidak pernah kenal keluarga dari pihak Ayah?”
”Tidak pernah. Sekarang China sudah jadi komunis, waktu Ayah saya berangkat
(dari daratan China) belum komunis.”
”Jadi lebih mengenal keluarga Ibu?”
”Iya.”
”Jelas.”
”Ayah saya sekolahnya cuma sampai SD atau SMP kelas 1 ya? Hmm… tidak
begitu jelas. Kalau Ibu saya buta huruf. Belajar baca sendiri. Akhirnya bisa
baca koran. Ia tidak pernah sekolah. Tapi pintar. Ibu saya cerdas. Sangat bright.
Kalau ia sekolah pasti hebat,” kata Gunawan bangga.
”Apakah keluarga memberikan pengaruh besar dalam nilai-nilai kehidupan?”
”Nilai-nilai lebih banyak saya timba dari luar, dari sekolah. Keluarga saya tidak
banyak waktu luang. Ibu bikin kue. Ia ada perjuangan sendiri. Tidak tergantung pada uang yang diberikan suami. Kalau Ibu, paling ia banyak mengatur saja.
Kesannya banyak bertengkar. Ingin menang sendiri.”



”Sejak kecil Ibu dan Nenek saya memang sudah ajarkan: sama orang itu tidak
boleh memandang rendah, harus setara. Itu memang selalu dituangkan dalam
keluarga. Kalau Ayah tidak banyak omong. Dengan Ayah ada jarak. Kapan ia ada
waktu dengan anak, karena sibuk bekerja?”
”Sampai bangkrut, baru ia di rumah saja.”
“Saya mendengar kisahnya saja. Ia jual saham bagiannya. Salah perhitungan,
lalu bangkrut.”
”Yang perlu kamu tahu itu adalah: Ibu saya di kartu penduduk : Budha. Ayah
saya juga. Tapi yang diyakini sama mereka itu adalah yang semacam Toapekong.
Kelenteng. Saya waktu kecil ikut saja.”
”Saya sering ikut ke Kelenteng. Paling senang. Di sana ada macam-macam yang
disembah, hero-hero. Saya pernah baca kisah mereka. Ada yang …bermakna
memberi nilai kesetiaan terhadap negara, ada yang rajin.”
“Sampai di sini (UI) ikut mata ajar Katolik, senang juga. Pastornya pandai
membawakan. Saya di permandikan. Tapi sekarang tidak pernah ke Gereja,
karena belajar lebih banyak. Jadi Agnostik.”
“Istri saya Kristen. Ia sangat menghargai saya dan mulai terpengaruh. Anak
saya semua Kristen tapi sekarang Agnostik karena mereka banyak baca. Baca
tentang setan. Baca tentang surga. Akhirnya dengan saya sangat dekat.”
”Semua orang di sini, (di Departemen Arsitektur UI) tahu saya Agnostik.
Teman-teman saya, banyak juga yang fanatik, ada yang Taoisme, Kristen.”
” O..iya..Pak Gun dari TK sampai SMA di Medan?”
“Sekolah TK sampai SMA, di Medan. Lalu pindah-pindah rumah. Yang seingat
saya pernah tinggal di Jl. Bali. Kalau yang lain saya tidak begitu ingat sih.”
“SD Katolik itu namanya, Santo Joseph, Hua Ing. Begitu SMP pindah ke Sutomo,
sekolah Nasionalis Taiwan. Sekarang masih ada. Bahasa Mandarin yang
diajarkan. Bahasa Indonesia itu hanya satu pelajaran yaitu bahasa Indonesia.
Saya menimba pengetahuan dari bahasa Mandarin, hampir semua, kecuali
bahasa Indonesia.”




No comment for 33. Chia Yong Guan bab 7b

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


center>