22. Mengamati Studio bab 4f : Safitri Ahmad
Menu Click to open Menus
TRENDING
Home » BUKU PROF. GUNAWAN TJAHJONO » 22. Mengamati Studio bab 4f

22. Mengamati Studio bab 4f

(255 Views) Agustus 6, 2022 2:47 am | Published by | No comment



*
Setelah itu setiap mahasiswa mulai memikirkan tema apa yang akan mereka
terapkan pada rancangannya masing-masing yang disesuaikan dengan fungsi
bangunan.Saya beri dua contoh. Terry mengemukakan tema “Seimbang”. Ada warna hitam dan kuning, ini berarti dari gelap ke terang (harapan). Ia mengatakan bahwa seimbang yang menjadi tema rancangannya adalah sesuatu yang seimbang antara baik dan buruk. Keduanya pasti sama. Sesuatu yang saling bertolak belakang dan sama kuat.

Rizky dengan teman “play ”. Ia menjelaskan bagaimana awal tema itu terwujud
dari kata bermain (play) yang terdiri dari 3 aturan:
1. punya tujuan dan teratur. Ada awal. Ada akhir (ia mempersiapkan bentuknya
pada kertas berbentuk garis meliuk-liuk. Terlihat awal dan akhir)
2. tidak beraturan. Tidak terlihat awal dan akhir. Tidak jelas tujuannya. Tidak
beraturan.
3. tidak ada aturan. Pada kertas terdapat tiga bercak warna: merah, kuning,
dan biru.

Saat proses perancangan Terry mengalami kesulitan mentransformasi
dari kata “Timur” ke dalam bentukan bangunan. Gunawan memberikan
komentar, “Belum tampak hubungan yang kuat antara kata Timur dan
pengejawantahannya ke bentuk bangunan. Tidak salah, hanya perlu
pendalaman saja.” Untuk menerjemahkan kata “keseimbangan” yang
merupakan tema individu, Terry membagi tapak menjadi dua bagian sama besar
(simetris).

Sedangkan Rizky, ia harus memikirkan kembali tema besar: Timur. Kelompok:
rekreasi. Tema individu : play. “Itu kesulitannya. Sering lupa. Kalau sudah
masuk ke perancangannya, sudah mikirin bentuk desain, kadang suka lupa
tema “Timur”. Apa yang ingin dibuat dari tema Timur, rekreasi dan tema
sendiri. Pak Gun suka ngingetin lagi,” kata Rizky.

Saat presentasi perorangan, Gunawan meminta peserta Perancangan V untuk
menunjukkan semua hasil pekerjaannya pertahapan, tidak hanya ”produk”
yang dipresentasikan saja, tapi corat-coret untuk mendapatkan ide dan contoh
tipe bangunan yang dicatat di dalam : portfolio, logbook, paper, juga perlu
ditampilkan, sehingga ia dapat melihat proses pekerjaan dan proses munculnya
ide dalam rancangan tersebut.

Apakah dengan waktu yang terbatas peserta perancangan V dapat
menyelesaikan semua produk yang diminta? “Iya,” jawaban Terry dan Rizky
sependapat. Walaupun cara kerja mereka berbeda-beda. Terry mengerjakan
tahapan produk sesuai urutan yang diminta, terkadang ia terlalu lama. pada satu tahap, karena ingin membuat gambar yang sempurna dengan
CAD, tidak memperhitungkan waktu untuk tahap berikutnya, sehingga ada
beberapa produk yang tidak sempurna dikerjakan. Sedangkan Rizky, ia
tidak menyelesaikan satu tahapan produk sampai tuntas tapi mengerjakan
tahapan berikut, ketika mendapat ide, balik lagi ke tahapan sebelumnya untuk
penyelesaian.



Saya mengutip tulisan Gunawan di majalah Indonesia Design, Vol.4.no.19.2007.
Saya mengira wartawan majalah itu memberikan pertanyaan dalam bentuk
tertulis dan Gunawan pun menjawab dalam bentuk tulisan, karena tanya jawab
tampak kaku dan tidak mengalir.
Ini pertanyaannya:

Bagaimana awal mengajar metode tematik ada apa misinya?
Ini jawabannya:
Setelah kembali dari belajar di UC Berkeley, ada keyakinan bahwa desain tak ada
jawaban benar atau salah, meski jawaban ada baik atau buruk, itu juga perlu
memeriksanya secara lebih adil. Permasalahannya adalah bagaimana kita mengukur
desain? Apakah adil dengan kesenangan dan nilai estetik saya lalu saya paksakan
bias itu sebagai tolok ukur saat menilai karya mahasiswa? Saya kira hal itu tak
mendidik, dan saya telah menjadi korban.

Pembelajaran yang melalui asistensi, saya ikuti kemauan dan nilai yang dianut oleh
asisten agar menyenangkan ia. Untuk mendidik saya yakin pertama saya perlu tahu apa yang diinginkan mahasiswa, tentu setelah ia mampu merumuskan permasalahan perancangan dan memenuhi segala persyaratan yang aman untuk pemakai (dalam hal ini ada kendala yang baku memang). Itulah yang kemudian diabstrakkan menjadi yang saya istilahkan ”tema”.

Tema menjadi sejenis kontrak saya dan mahasiswa. Jika ia mau temanya seperti apa, sifatnya seperti apa, dan upaya menjelajahi dan menerjemahkan ke ruang dapat menempuh jalan seperti apa, tanpa harus mendikte sesuatu. Jika pada akhirnya jadual, hasil desainnya seperti api maka saya ada tolak ukur yang dapat menyatakan bawa hasilnya lebih seperti air dan berarti ia kurang berhasil. Sebaliknya jika hasil akhirnya meyakinkan terdapat citra seperti api maka ia harus diberi nilai tinggi karena berhasil.

Dengan cara demikian saya yakin lebih adil bagi mahasiswa, karena rekannya juga
dapat ikut memberi pendapat apakah temanya berhasil atau tak berhasil. Dalam
pendidikan arsitektur saya kira ini adalah cara didik yang tak menghasilkan pengikut,
tetapi mendorong sang calon menemukan dirinya. Bukankah itu lebih terbuka dan
tak lagi dirundung menerka apa sih yang diinginkan fasilitator/dosennya, tetapi
telah dibalik menjadi apa sih yang diinginkannya (mahasiswa) dan kami bantu.
Lebih jauh lagi dengan ”kontrak ” demikian saya juga tertantang dan belajar
bersama-sama mahasiswa. Terus terang saya kini banyak belajar dari mahasiswa
yang gigih mencari cara menerjemahkan tema. Dalam pendekatan, saya semakin
dekat dengan cara Socrates, yang mencoba tak meletakkan diri sebagai guru, tetapi
sejawat yang sama-sama memperoleh pengetahuan bersama melalui diskusi, wacana hingga menemukan suatu titik cerah.




No comment for 22. Mengamati Studio bab 4f

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


center>