110 Pengalaman Gunawan Tjahjono Jadi Juri Sayembara Arsitektur bab 24d : Safitri Ahmad
Menu Click to open Menus
TRENDING
Home » BUKU PROF. GUNAWAN TJAHJONO » 110 Pengalaman Gunawan Tjahjono Jadi Juri Sayembara Arsitektur bab 24d

110 Pengalaman Gunawan Tjahjono Jadi Juri Sayembara Arsitektur bab 24d

(147 Views) Agustus 14, 2022 3:28 am | Published by | No comment



“Pak Rektor dan kami sepakat, bangunan yang baru tidak perlu ikuti ini
(bangunan rektorat), tapi bagaimana menyambung.”
“Semacam, tidak ada kepincangan dalam hal visual. Ini sangat menantang
dan di sinilah seluruh kepekaan dan kemampuan arsitek itu diuji.”
“Kita tahu di dunia ini ada beberapa arsitek yang sangat mampu
mengombinasikan hal itu. Oleh sebab itu kami, dewan juri, berpandangan
global dan mempunyai kemampuan sensitivitas terhadap akar budaya kita.
Terhadap konteks.”

“Kalau kita memberi angka, saya khawatir tidak ada angka yang excellence.
Biasanya yang terjadi jika angkanya beda sedikit. Nah ini bagaimana?
Saya tidak tahu, bagaimana pendapat ibu/bapak, pada umumnya ini (TOR
penjurian) kita pakai sebagai pertimbangan kita.”

“Tapi apakah ini semua harus diisi, ini semua saya serahkan pada forum.
Kalau pengalaman saya, TOR penjurian memang diambil (digunakan).
Namun pada saat pertanggungjawaban kita harus menjelaskan, seberapa jauh TOR penjurian ini. Tapi pada saat menjuri yang paling praktis adalah
dasar kemampuan kita memilih, misalnya, setiap orang memilih 10 peserta,
nanti yang overlap itu berapa?”

“Lalu yang paling banyak overlap yang kita perlu lihat. Tapi belum tentu
yang tidak banyak overlap itu, tidak punya kemampuan. Nanti juri-juri
yang memilih itu menjelaskan. Kenapa ini pantas dipilih? Kemudian juri
yang tidak memilih menjelaskan kenapa itu tidak pantas (tidak pantas
dipilih).”

“Ini sering terjadi, bisa mengubah pendapat. Lalu, O… rupanya kita semua
ini kan tidak sempurna. Manusia kan tidak sempurna. Ada yang tidak kita
pertimbangkan, sehingga pada saat kita mendengar penjelasan rekan
kita terhadap karya peserta yang dipilih itu, rupanya kita terlewatkan.
Penjelasannya mungkin masih diperdebatkan. Di sini perlu didiskusikan,
karena ini juga termasuk dalam story kita.”
“Mungkin jika ada pertanyaan dapat kita diskusikan sebentar sebelum mulai,”
tanya Gunawan mengedarkan pandangannya pada semua juri, memberi
kesempatan untuk bertanya.

Semua diam. Persis seperti kelas Gunawan, kalau ia bertanya,” Ada
pertanyaan?” Semua mahasiswanya juga diam. Sama saja, dewan juri atau
mahasiswa.



Tapi rupanya Diane ingin bertanya atau memberikan pendapatnya.
“Ibu Diane ada yang ingin disampaikan,” tanya Gunawan. Diane
memberikan komentarnya tentang bangunan perpustakaan dan
hubungannya dengan arsitektur tradisional Indonesia.

Setelah Diane selesai bicara, tidak ada lagi anggota juri yang bertanya.
“Kita juga bisa naik sebentar ke atas untuk melihat lokasinya, paling enak
memang dari lantai ini lihat lokasinya. Karena langsung tahu tempatnya di
mana. Rektor merasa bahwa area ini, sekitar rektorat agak sepi. Jadi melalui
pengisian kegiatan library plus activities center yang ada di bawah mudah-
mudahan bisa menghidupkan ini. Kita ada baiknya lihat ke atas.”

Semua juri naik ke balkon ruang sidang. Mereka melihat lokasi Gedung perpustakaan yang akan dibangun. Begitu turun dari balkon semua juri mulai
menilai. Amplop coklat yang tadi tertutup rapat sudah dibuka panitia pada
saat Gunawan dan Emirhadi berbicara. Juri berpencar dan mulai meneliti satu
demi satu karya peserta.

Pukul 11:30 WIB, waktunya salat Jumat, Emirhadi mempersilakan juri untuk
salat Jumat, bagi yang tidak salat dapat meneruskan penjurian.
Juri yang tersisa: Gunawan, Adi Purnomo, dan Diane, mereka tidak salat Jumat,
sehingga meneruskan memeriksa karya peserta. Karena sudah sepi, saya ikutan
melihat-lihat karya peserta. Dimulai dari karya yang terletak di dekat tempat
saya duduk. Pelan-pelan bergerak ke sisi kanan. Tidak ada yang menegur.
Gunawan sebagai ketua juri juga diam saja.

Mulai berani. Saya dengan tenang melihat semua karya peserta satu per satu.
Tapi tetap menjaga sikap. Jika karya yang saya lihat ingin dilihat juri, saya
langsung menghindar. Mempersilakan yang berhak. Tapi pernah saya kelamaan
berhenti pada sebuah karya. Tanpa sadar Diane sudah menunggu di dekat
saya, ingin menilai karya yang saya lihat. Ups…maaf. Tapi yang saya respek
adalah, Diane tidak menegur, misalnya dengan mengatakan,” Maaf saya ingin
menilai karya tersebut,” dan ia berhak melakukannya. Ia memilih menunggu,
menunggu saya menyelesaikan melihat karya itu.

Setelah melihat semua karya, saya kembali duduk di tempat semula. Menulis.
Menulis tentang penilaian saya terhadap karya peserta, walau tak diminta.
Saya menulis untuk diri sendiri.
Sambil asyik menulis ada yang menegur.




No comment for 110 Pengalaman Gunawan Tjahjono Jadi Juri Sayembara Arsitektur bab 24d

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


center>