74. Menelusuri Karya Gunawan Tjahjono bab 16a : Safitri Ahmad
Menu Click to open Menus
TRENDING
Home » BUKU PROF. GUNAWAN TJAHJONO » 74. Menelusuri Karya Gunawan Tjahjono bab 16a

74. Menelusuri Karya Gunawan Tjahjono bab 16a

(418 Views) Agustus 11, 2022 3:49 am | Published by | No comment



Menulis karya arsitektur Gunawan membuat saya gamang. Siapa saya. Siapa
Gunawan. Bila ada tempat sembunyi atau melarikan diri, pasti akan saya
lakukan, agar tidak perlu menulis karya arsitekturnya. Bagaimana tidak? Saya
lulusan Arsitektur Lansekap, Universitas Trisakti, Jakarta, untuk Program
Sarjana. Lulusan Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia untuk
Program Pascasarjana. Ini latar belakang pendidikan. Pengalaman kerja: tenaga
ahli dan penulis untuk proyek arsitektur lansekap. Hanya sekali-kali menulis
tentang arsitektur. Saya tidak paham periode arsitektur dari masa ke masa.
Saya juga tidak kenal gaya arsitek kelas dunia, yang mungkin menginspirasi
Gunawan. Menulis kritik arsitektur yang baik dan benar pun saya tak tahu
(kalau itu memang ada).

Sedangkan Gunawan, walau sebagian besar sudah mengenal kehebatannya,
tapi saya ingin membandingkan ketimpangan ini. Guru Besar Arsitektur UI,
Peneliti, Arsitek, Juri, Ketua TPAK, dan Penulis Arsitektur. Fasilitator Mata Ajar
Perancangan, Penguji pada tingkat skripsi, tesis, dan disertasi. Juri pada setiap
sayembara arsitektur, tingkat nasional. Sebentar-bentar namanya disebut
sebagai juri sayembara ini, juri sayembara itu. Ia juga menjadi juri tingkat
regional, Asia Pasifik, Holcim Award for Sustainable Construction. Emirhadi,
sahabat Gunawan, mengatakan bahwa ia sangat hafal dengan gaya arsitektur
arsitek kelas dunia. Tentu saja banyak pihak yang memercayakan penilaian
arsitektur di tangganya, sebagai juri/penilai/penentu yang menang yang kalah
pada setiap sayembara. Menilai karya arsitektur mah urusan sehari-hari untuk
Gunawan.



Apa jadinya, jika ia membaca tulisan kritik arsitektur saya terhadap karyanya.
Membayangkannya saja, saya minder. Saya sampaikan keterbatasan itu pada
Gunawan. Ia dengan bijak menasehati, bahwa sebuah tulisan itu tidak ada
benar atau salah. Malah sempat menyenangkan hati, ”Apa yang Fitri temukan
dari bangunan rancangan saya?”

”Menggunakan material batu alam, atap pelana, mengutamakan pencahayaan
alami, besar ruang secukupnya (tidak terlalu besar atau terlalu kecil), hubungan
antara ruang yang satu dengan yang lain efektif, tidak banyak ornamen.”
”Itu bisa,” teriak Gunawan senang dengan mata berbinar-binar, berusaha
menunjukkan bahwa pencapaian yang baru saja saya lakukan itu sesuatu yang
maha hebat.

Saya tidak antusias menanggapinya. Kesimpulan itu bisa dilakukan oleh siapa
saja, karena bangunan Gunawan memang mudah dibaca. Maklum, namanya
juga Pak Guru, pasti punya segala cara untuk membuat muridnya percaya diri.
Salah satunya dengan pujian tadi.

Tidak ada cara lain. Harus belajar secara cepat. Upaya apa yang perlu
dilakukan. Pertama, membaca buku. Saya bertanya pada Gunawan buku apa
yang bisa saya baca. Ia menyarankan untuk membaca buku Architects on
Architects. Tentu saja buku itu dapat pinjam darinya.
Buku itu berisi tentang karya seorang arsitek yang dikomentari oleh arsitek
yang lain. Menarik. Saya mempelajari buku itu. Mempelajari bagaimana
seorang arsitek menilai karya arsitek yang lainnya, walau tak sezaman.
Bahasannya tak panjang. Contohnya Norman Foster membahas karya Paul
Rudolph atau Tadao Ando membahas karya Le Corbusier.

Kedua, saya rajin mengikuti sinemart yang dilaksanakan oleh IAI cabang
Jakarta. Sinemart adalah pemutaran film tentang arsitek dan karyanya.
Lumayan. Cukup membuka wawasan. Saya pernah menyaksikan karya arsitek
Alvaro Siza, arsitek Portugis, yang karyanya seperti musik jazz (dalam satu
lahan terdapat beberapa bangunan), jadi dapat ditambah/dikurangi sesuai
kebutuhan.

Saya bandingkan dengan rancangan Gunawan. Ia merancang sesuai kebutuhan,
jika rancangan itu ditambah/dikurangi maka karakternya akan melemah.
Hm….bagaimana menjelaskannya ya…secara sederhana, jika Gunawan
merancang sesuatu, maka sepuluh, duapuluh atau berpuluh tahun berikutnya,
rancangan itu akan tetap seperti itu. Tidak berubah. Bukan rancangan yang
dapat berkembang. Tepatnya, bukan seperti karya Alvaro Siza itu, yang dapat ditambah dan dikurangi sesuai kebutuhan tapi tetap tampil harmonis.




No comment for 74. Menelusuri Karya Gunawan Tjahjono bab 16a

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


center>