34. Chia Yong Guan bab 7c : Safitri Ahmad
Menu Click to open Menus
TRENDING
Home » BUKU PROF. GUNAWAN TJAHJONO » 34. Chia Yong Guan bab 7c

34. Chia Yong Guan bab 7c

(258 Views) Agustus 7, 2022 11:47 pm | Published by | No comment



Pantes dulu Gunawan pernah menulis huruf kanji, di kelas. Saya sampai kagum,
karena belum pernah melihat orang menulis dengan huruf Kanji dan tidak mengira
ia bisa. Begitu pun saat saya memperlihatkan sebuah foto bangunan China Benteng
(Arsitektur China Benteng di daerah Tangerang). Ada huruf Kanji di salah satu pintu,
Gunawan membacanya dengan lancar sekaligus menjelaskan artinya.
“Di sekolah teman-temannya China semua Pak?”
“Iya… di sekolah iya.”
“Jarak dari sekolah ke rumah dekat atau jauh? Naik apa?”
“Jauh. Dari Medan Baru ke sekolah jauh. Saya naik sepeda. Enam kilometer.”
“Apa yang paling disuka sejak kecil?”
”Saya suka cerita silat, kecanduan.”
Saya langsung nyelutuk,”Kho Ping Ho, ya Pak”.
Dulu waktu SD, kakak laki-laki saya yang sudah kuliah suka sekali baca Kho Ping Ho.
Biar tidak ketahuan Ibu, buku kecil-kecil itu disimpan di dalam lemari pakaian. Tak
sengaja saya temukan. Baca sekilas. Tidak menarik. Saya letakkan lagi di tempat
semula, dibalik tumpukan baju.
”Tidak, bukan Kho Ping Ho, yang asli dari sana (China) seperti Pendekar
Rajawali. Condor Hero. Itu favorit,” ujar Gunawan bersemangat. Pasti ia
sedang mengembalikan pikirannya saat masa kecil dulu. Wajahnya terlihat
berseri-seri menceritakan kesukaannya yang satu ini. Membaca cerita silat.
Gunawan pernah bercerita di kelas, bahwa ia ikut milis cerita silat, karena
anggotanya sangat banyak, inbox-nya selalu penuh. Tapi saya tidak mengira bahwa
Gunawan sampai kecanduan. Kecanduan cerita silat.
”Setiap Sabtu, datang buku kecil dari Hongkong. Siapa yang ingin baca, duduk
di bangku panjang, antri. Ada yang sedang membaca, begitu ia selesai, saya
yang baca, begitu seterusnya. Sewa.”
”Suatu hari ketahuan oleh guru ekonomi, tertangkap dan ia buang buku cerita
silat itu. Saya malas belajar ekonomi, tidak tahu saya ia mengajar apa. Tidak
interest,” cerita Gunawan kesal. Ia memang ekspresif. Kalau lagi senang, marah,
kesal, pasti tergambar dari bahasa tubuhnya. Saya kira, kalau ia jadi aktor
sinetron mungkin bisa berhasil.



”Waktu SMP saya banyak ketinggalan, tidak terlalu berprestasi. Waktu SMA,
saya tidak tahu kenapa, semua pelajaran sepertinya bisa saja. Gampang. Gurunya juga bagus. Di kelas, saya paling banter rangking ke-10, tapi termasuk
siswa yang disegani. Saya pilih-pilih pelajaran. Saya senang yang ada kaitan
dengan angka. Saya kuat di situ. Logika. Yang lain tidak suka, bangsa : sejarah,
bahasa, apalagi ekonomi. Angkanya tidak bagus. Setelah selesai SMA ada ujian
negeri A, B, C. Saya ambil yang B. Tidak lulus yang pertama. Saya juga tidak
mengerti soalnya apa. Banyak istilah-istilah yang saya tidak mengerti.”
”Lalu, Ayah kirim saya ke Jakarta. Sekolah di SMA Utama 3, ulangi kelas 3, biar
bisa ujian negeri lagi. Sekolah itu sudah tidak ada sekarang, sudah bubar. Saya
sendirian di Jakarta, ada Om yang tinggal di Jakarta juga, jarak usia saya dan
ia hanya beberapa tahun. Tempat kost saya semuanya bintang pelajar, seperti
dokter yang terkenal sekarang, dr. Teguh, dr. Hanafi.”
”Kost di mana Pak, jalan apa?”
”Jl. Tegalan namanya, Matraman, dekat UI, Salemba, yang mencarikan kost,
teman Ayah saya. Kalau ada persoalan, saya tanya pada teman kost saja, lebih
pintar dari guru saya.”
Tahun 1964 selesai SMA dan masuk perguruan tinggi Res Publica (sekarang
Universitas Trisakti) Gunawan mengontrak di rumah orang tua Titi. Tahun 1966
ia membeli rumah di Kramat Pulo. Saat orang tuanya pindah ke Jakarta tahun
1967 juga ada keluarga lain yang menumpang, lalu mereka mengontrak di Kalibaru
Timur, Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Setelah 3 tahun mereka pindah ke
belakang bioskop Rivoli, daerah Salemba. Beberapa tahun kemudian, kembali lagi ke
Kramat pulo.
”Selesai itu, lulus SMA. Teman kost anjurkan ikut psikotes. Maunya orang tua,
saya ambil fakultas kedokteran. Ibu itu dokter minded. Pokoknya dokter.”
”Ayah maunya saya dagang. Ibu maunya saya jadi dokter. Itu saja.”
”Kenapa tidak pilih berdagang, bukankah sudah mewarisi darah pedagang?”
”Saya tidak mau, karena menimba nilai dari baca cerita silat, karena di dalam
buku itu banyak orang-orang yang santai. Terlepas dari perdagangan. Terlepas
dari duniawi. Ini yang lebih tinggi. Begitu.”
”Kalau dagang itu, Anda harus tega, sepertinya itu bukan sifat saya. Saya tidak
bisa. Mendingan begini. Itu saja.”
”Sebenarnya, mengecewakan Ayah dalam batas tertentu. Tapi ia juga punya
kebanggaan. “ Iya kamu kan sudah dewasa, Ayah juga tidak bisa bilang apa-apa.




No comment for 34. Chia Yong Guan bab 7c

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


center>