111 Pengalaman Gunawan Tjahjono Jadi Juri Sayembara Arsitektur bab 24e
(287 Views) Agustus 14, 2022 3:30 am | Published by Safitri ahmad | No comment
“Hello nama saya ibu Diane,” kata Diane sambil mengulurkan tangan.
Saya mengangkat wajah, tersenyum sambil membalas uluran tangan itu. “Saya
Fitri.”
“Bagaimana pendapat ibu tentang karya peserta lomba,” tambah saya mencoba
akrab.
“Ada yang bagus, tapi ada juga yang biasa,” sahut Diane hati-hati.
“Menurut Anda bagaimana,” tanyanya pada saya
Ia tahu saya sempat berkeliling dan melihat karya semua peserta lomba.
“Ada beberapa karya seperti yang biasa saya temui di majalah arsitektur. Ada
karya seperti gedung-gedung yang ada di Jl. Sudirman-Thamrin (Jakarta). Tapi
ada yang unik juga,” sahut saya berkomentar sok tahu.
Di luar perkiraan saya, Diane menyetujuinya,”Benar-benar sebagian seperti
yang biasa terlihat di majalah.”
Diane meneruskan berkeliling memeriksa karya peserta lomba. Dan saya
meneruskan, menuliskan catatan pengamatan proses penjurian agar tak lupa.
Mungkin karena usia, tidak semua saya ingat dengan baik, jadi harus dicatat.
Takut sekali ada info penting dan menarik terlewat.
Meja kerja Diane berdampingan dengan meja kerja Gunawan. Diane
menjadi visiting Professor sejak tahun 2000 di jurusan arsitektur
Universitas Indonesia. Saat Gunawan menjadi Ketua Jurusan Arsitektur UI.
Satu-satunya orang asing di jurusan arsitektur.
Gunawan dan Adi Purnomo sedang ngobrol di kursi depan sayap kanan. Saya
hampiri mereka. Saya ingin ngobrol dengan Gunawan. Tapi sebelumnya saya
menjulurkan tangan pada Adi Purnomo, mengajak berkenalan.
“Fitri,” ujar saya.
Ia tersenyum dan menyambut tangan saya, tapi tidak menyebutkan namanya,
terasa aneh, bila pada saat berkenalan, lawan bicara tidak menyebutkan
namanya.
Adi Purnomo langsung pamit ke Gunawan untuk berkeliling memeriksa karya
peserta.
Saya duduk di sebelah Gunawan.
“Saya sudah memilih karya yang masuk 5 besar,” kata saya ke Gunawan, Ketua
Dewan Juri itu.
Gunawan balik tanya,”Apa?”
“Saya sudah menemukan karya yang akan masuk dalam 5 besar Pak,” ujar saya
yakin.
“Lima besar versi Fitri,” sahut Gunawan tidak antusias.
Saya mengangguk.
Biasanya Gunawan selalu ingin tahu pendapat saya, tapi kali ini ia diam
saja. Tidak bertanya lebih lanjut. Tidak merasa butuh. Tidak merasa penting
mengetahui pilihan saya.
Tapi jadi penasaran apakah karya yang saya pilih, sama dengan pilihan para
juri? Nanti hari Senin jawabannya.
“Pak, kenapa saya tidak boleh ikut pada saat penentuan pemenang? Saya ingin
tahu perdebatan pada saat penentuan pemenang?”
“Proses penjurian seperti ini,” ujar Gunawan sambil menunjuk sekeliling.
“Tapi saya ingin tahu perdebatan pada saat penentuan pemenang,” jawab saya
maksa.
“Itu tertutup, tidak boleh ikut,” ujar Gunawan menghindar.
Saya diam. Cemberut. Kecewa berat. Sebel. Keinginan untuk melihat
perdebatan pada saat penentuan pemenang tak terkabul. Entah apa alasannya,
Gunawan tidak memperbolehkan saya mengamati perdebatan itu. Padahal itu
penting, mengamati pikiran juri dalam menentukan pemenang. Bagaimana
mereka berargumentasi mempertahankan pilihannya? Apa hebatnya kalau
hanya mengamati juri hilir mudik hilir mudik memeriksa karya peserta, tanpa
tahu alasannya memilih pemenang.
Gunawan meneruskan memeriksa karya peserta.
Saya kembali ke tempat duduk. Menulis. Apalagi yang mesti dikerjakan. Kadang
saya ke meja minuman dan makanan kecil, mengudap makanan kecil sambil
mengamati sekeliling. Ketika mengambil makanan untuk kesekian kalinya, mata
saya tertuju pada mangkok berisi permen. Permen berwarna kuning. Setelah
dekat, terlihat ada logo makara UI berwarna hitam dan tulisan Universitas
Indonesia. Hei…ada permen UI. Surprise. Saya belum pernah melihatnya.
Dengan antusias permen itu saya ambil satu dan memakannya. Hm…rasa
mentos. Permen UI rasa mentos. Pasti sulit ditemukan. Dengan tenang saya
ambil segenggam dan langsung berpindah ke dalam saku celana. Bukan rasanya
yang saya ingin, tapi bungkusnya.
No comment for 111 Pengalaman Gunawan Tjahjono Jadi Juri Sayembara Arsitektur bab 24e